Indonesia Bersuara untuk Rohingya

September 02, 2017
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Indonesia Bersuara untuk Rohingya - PBB dan dunia internasional diminta memberikan kepeduliaan atas krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar.

Indonesia Bersuara untuk Rohingya

Indonesia Bersuara untuk Rohingya
Indonesia Bersuara untuk Rohingya
Sejumlah tokoh di Indonesia menyuarakan kecaman dan keprihatinan atas kekerasan yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis Rohingya. Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar misalnya, membuat surat dan video terbuka yang mempertanyakan sikap Aung San Suu Kyi atas kejahatan kemanusiaan di negaranya.

“Anda mungkin bisa menutup mata dan memalingkan wajah dari kabar ini, tapi sebagai perjuangan demokrasi selama bertahun-tahun saya terkejut anda juga sanggup menutup hati atas tragedi yang terjadi,” kata Muhaimin dalam surat terbuka yang dipublikasikan melalui akun Twitter pribadinya, Jumat  (1/9).

Pria yang akrab disapa Cak Imin mengatakan ada setidaknya 18000 etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh. Kebanyakan mereka ialah perempuan, anak-anak, dan orang tua. Sebagai penasihat negara yang pernah mendapatkan Nobel Perdamaian pada 1991, Suu Kyi mestinya bisa berbuat lebih besar mengakhiri kekerasan.

“Atau lepaskan saja pencapaian Nobel Perdamaian yang anda punya. Itu tidak ada artinya jika kita melihat kenyataan yang terjadi sekarang,” paparnya.

“Kita semua Rohingya sekarang.”

Cak Imin mengingatkan sikap Suu Kyi yang abai terhadap derita orang Rohingya menunjukkan ketidakpantasannya meraih Nobel Perdamaian. Menurutnya, pendekatan kekerasan yang dilakukan militer tidak akan membuat Myanmar lebih damai. “Buat apa medali yang kau pampang di lemarimu tapi kekerasan yang kau lakukan,” lanjut Cak Imin.

PBB diminta segera menerjunkan personel untuk menolong etnis Rohingya di Myanmar. “Kami protes marah dan memohon kepada PBB untuk segera turun tangan membentuk solidaritas perdamaian untuk menolong saudara-saudara kita di Rohingya,” katanya.

Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan pembantaian etnis Rohingya yang dilakukan militer Myanmar wajib dihukum dunia internasional. Menurutnya, pembiaran Pemerintah Myanmar membuat kekerasan berlangsung sistematis dan masif. “Sehingga kejahatan ini menjadi kejahatan sistematis dan meluas yang bertujuan melenyapkan sebuah entitas etnis atau "etnic cleansing" di negara itu,” ujar Yusril.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang ini menyatakan pihaknya akan melakukan langkah politis dan kemanusiaan untuk membantu Muslim Rohingya. Yusril juga mendesak Pemerintah Indonesia mengambil langkah diplomatik untuk menekan Myanmar. Indonesia dapat menggalang negara-negara ASEAN lainnya untuk mengambil langkah nyata mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian atas Muslim Rohingya.

Sikap Suu Kyi yang terkesan mendiamkan kekerasan militer terhadap orang Rohingya juga mengundang kekecewaan. Yusril mengatakan Suu Kyi mestinya malu dengan nobel perdamaian yang pernah ia terima. “Sebagai pemegang Hadiah Nobel Perdamaian, sikap Suu Kiyi yang membiarkan kekejaman di Myanmar adalah sikap yang memalukan,” ujar Yusril.

Yusril mengajak umat Islam Indonesia bersatu membantu Muslim Rohingya. Solidaritas sebagai sesama Muslim harus ditunjukkan di saat penderitaan Muslim Rohingya sudah demikian seriusnya.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bahtiar Effendi meminta Pemerintah Republik Indonesia menyediakan kawasan pengungsian bagi etnis Rohingya. Hal ini sebagaimana yang pernah dilakukan pemerintah terhadap pengungsi perang Vietnam dengan menyediakan kawasan Pulau Galang, Batam.

Upaya tersebut dianggapnya bisa membantu etnis Rohingya yang kini tengah mendapat persekusi dari pemerintah Myanmar dan penolakan Pemerintah Bangladesh.

"Kami juga meminta pemerintah mengevaluasi kebijakan diplomasi yang selama ini diterapkan kepada Myanmar karena tidak terbukti menghentikan Myanmar melakukan praktik Genosida terhadap etnis Rohingya," kata Bahtiar seperti diberitakan Antara.

Bahtiar mengatakan, krisis Myanmar jika dibiarkan bisa mengancam stabilitas keamanan di kawasan Asia Tenggara karena akan menumbuhkan perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, dan imigran ilegal yang bisa membanjiri kawasan.

PP Muhammadiyah juga meminta ASEAN menekan Myanmar di antaranya lewat pertimbangan pembekuan keanggotan Myanmar dari ASEAN. PP Muhammadiyah juga mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional untuk mengadili pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam kasus ini.  Komite hadiah Nobel pun diminta mencabut hadiah Nobel bagi pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi karena alih-alih mendamaikan malah memperburuk keadaan.

Gubernur Nusa Tenggara Barat, Muhammad Z Majdi, menyampaikan rasa simpatinya terhadap penderitaan yang dialami muslim Rohingya di Myanmar.

"Beberapa hari terakhir kita melihat pembantaian terhadap orang-orang tidak bersenjata, anak-anak, kaum perempuan, orang tua, (jumlahnya) ribuan," kata Majdi, di Mesjid Hubbul Wathan Islamic Center, Mataram, Jumat seperti diberitakan Antara.

Dia menyayangkan komunitas dan masyarakat internasional seperti menutup mata dan tidak berani mengambil sikap serta mengeluarkan pernyataan yang keras, apalagi menyuarakan hukuman atau sanksi kepada pemerintah Myanmar yang telah membiarkan pembantaian seperti itu.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi mengatakan Pemerintah Indonesia telah mendorong pemerintah Myanmar memulihkan stabilitas keamanan di negara bagian Rakhine, tempat mayoritas Muslim Rohingya tinggal.

"Kami mengharapkan pemerintah Myanmar dapat memberikan perlindungan terhadap semua orang yang berada di Rakhine State, termasuk komunitas Islam, dan akses kemanusiaan juga dapat diberikan agar krisis kemanusiaan tidak memburuk," kata Retno, Kamis lalu seperti diberitakan Antara.

Menlu juga telah berkomunikasi dengan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang baru-baru ini menyerahkan rekomendasi laporan penyelidikan tentang konflik berkepanjangan antara komunitas Muslim Rohingya dan komunitas Buddha di Rakhine State, atas permintaan Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.

Laporan yang dirilis oleh komisi independen pimpinan Kofi Annan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi antara lain gabungan inisiatif politik, keamanan, dan pembangunan, serta menghilangkan diskriminasi atas minoritas Muslim Rohingya untuk memastikan kekerasan di Rakhine State tidak meningkat.

Laporan tersebut juga merekomendasikan tinjauan ulang atas undang-undang kewarganegaraan yang saat ini tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara Myanmar, sehingga menjadikan mereka kelompok yang terpinggirkan dan kehilangan pengaruh politik.

Dalam pembuatan laporan tersebut, kata Menlu Retno, tim komisi Kofi Annan juga melakukan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo di Bali pada Desember 2016, sehingga Indonesia ikut memastikan perannya dalam mewujudkan perdamaian di Rakhine State.

"Setelah laporan diterima oleh pemerintah Myanmar, Pak Kofi Annan berharap Indonesia dapat membantu Myanmar mengimplementasikan poin-poin rekomendasi dalam laporan tersebut," ujar Retno. (Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Artikel Terkait

Previous
Next Post »