Rohingya: Siapa Mereka?

September 02, 2017
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Rohingya: Siapa Mereka? - Setelah pemberitaan media beralih fokus ke topik-topik lain dan ledakan empati, emosi sudah sedikit memudar; saya ingin memberikan sedikit perspektif atas pengungsian “Rohingya” yang kemarin marak diberitakan.

Rohingya: Siapa Mereka?

Rohingya: Siapa Mereka?
Rohingya: Siapa Mereka? 

Tentu tidak perlu diperdebatkan lagi apakah kita sebagai negara harus menampung para pengungsi; langkah penanganan pengungsi pun sudah disepakati berbagai pihak, termasuk pemerintah Myanmar, Bangladesh, negara-negara ASEAN penampung pengungsi dan UNHCR.

Saya tinggal di Yangon sudah hampir dua tahun. Tulisan ini saya sadur dari berbagai sumber dari lembaga internasional [1], opini dari tokoh yang kompeten [2], opini dari masyarakat [*] di sekitar tempat saya bekerja dan pengalaman pribadi.

Sebelum Inggris menguasai Myanmar, wilayah/propinsi (state) yang saat ini disebut “Rakhine”, terdiri atas 2 bagian. Sebagian dibawah wilayah Bengal dan sebagian lagi dibawah kerajaan Arakan. Penting untuk sedikit memahami apa yang terjadi sebelumnya di wilayah Rakhine, baik di utara (dekat dengan Bangladesh) dan selatan (dekat dengan Burma/Myanmar).

Bengal sejak 1947 berada dalam wilayah Pakistan, namun masyarakat Bengal merasa didiskriminasi oleh Pakistan, salah satunya karena bahasa; karena meskipun mereka adalah mayoritas di wilayah tersebut, bahasa resmi yang digunakan pemerintah adalah bahasa Urdu dan bukan Bengali.

Banyak gerakan separatis masyarakat Bengal dan akhirnya pada tahun 1971 Bengal merdeka dari Pakistan dan menjadi negara Bangladesh. Dalam proses menuju kemerdekaan Bangladesh, tentunya banyak rakyat sipil yang mengungsi, lari dari perang.

Sebagian lari menuju ke Selatan, masuk ke wilayah (bekas) kerajaan Arakan, yang saat itu sudah berada di bawah Burma. Pengungsi ini kemudian ditampung sementara, namun sebagian besar dikembalikan lagi ke Bangladesh karena tidak diakui sebagai warga Myanmar.

Di selatan, bagian Burma, saat terjadi pembasmian gerakan separatis Muslim di Rakhine di tahun 1950; banyak juga penduduk yang berusaha lari dan bermigrasi ke Bengal (Pakistan).

Nasib mereka sama, sesampainya di Bengal, mereka ditampung sementara dan akhirnya dikembalikan ke Myanmar. Tentu ada sebagian yang lolos sebagai imigran ilegal di kedua negara dan akhirnya bisa hidup turun temurun di negara baru mereka.

Dalam keadaan damaipun, pergerakan penduduk (legal atau ilegal) di wilayah perbatasan ini sudah sangat cair sejak dulu. Dalam keadaan genting (perang), tentu pergerakan penduduk ini lebih sering dan dalam jumlah besar. Ini harus kita pahami (sebagai spektator yang berimbang).

Dimana ada masalah imigrasi di perbatasan, maka yang paling bertanggungjawab dan harus duduk bersama adalah kedua negara yang dibelah oleh perbatasan tersebut, dalam hal ini Bangladesh dan Myanmar. Kedua negara ini harus menemukan kesepakatan penanganan pengungsi yang ada saat ini dan meletakkan mekanisme kontrol untuk mencegah pelanggaran imigrasi. Negara-negara lain yang terkena imbasnya, harus melibatkan kedua negara ini dalam mencari solusi.

Pada bulan Mei 2015 yang lalu, Indonesia kedatangan kapal-kapal pengungsi yang mengklaim datang dari Myanmar. Mereka menyebutkan identitas mereka sebagai “Muslim Rohingya”.

Secepat bola salju, media dan pengguna media sosial mengerubuti topik ini dari berbagai sudut. Dari segi hak asasi manusia sampai ke konflik Buddha-Muslim yang ada di Myanmar. Saya coba mengupas sedikit dalam bentuk tanya-jawab.

Tentu tidak bisa mengupas secara tuntas dalam artikel pendek ini, tapi semoga bisa memicu rasa keingintahuan pembaca untuk menilik lebih dalam; tidak sekedar untuk menang debat atau men-judge, tapi lebih pada kepuasan diri atas pemahaman yang baik dan berimbang.
(Free Rohingnya)
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِين

Artikel Terkait

Previous
Next Post »